EFEKTIVITAS PENGAJARAN DRAMA DENGAN MENG-GUNAKAN METODE BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS XI SMU NEGERI 07 MAKASSAR

 

Judul:      EFEKTIVITAS PENGAJARAN DRAMA DENGAN MENG­GUNAKAN METODE BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS XI SMU NEGERI 07 MAKASSAR

 

I. PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Sastra merupakan hasil cipta yang mengungkapkan pribadi manusia berupa pengalaman, semangat, ide, prevasi, pemikiran, dan keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang mampu membangkitkan gairah yang dapat tersalurkan dengan alat bahasa. Dengan melihat dan mendengarkan karya sastra yang indah, maka keindahan tersebut dapat menggetarkan sukma, dapat menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian, atau pandangan hati, gemas, dan dendam bagi penikmatnya.

 

Hasil dari karya sastra baik yang berupa puisi, prosa, maupun drama telah diajarkan melalui bangku sekolah pada pengajaran bahasa Indonesia yang tidak hanya bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga kemampuan untuk mengapresiasi dari hasil karya sastra tersebut. Salah satu hasil dari karya sastra ialah drama, di mana drama adalah salah satu genre sastra yang hidup dalam dua dunia, yaitu seni sastra dan seni pertunjukan atau teater. Orang yang menganggap drama sebagai seni pertunjukkan akan membuang fokus itu sebab perhatiannya harus dibagi rata dengan unsur lainnya (Mulyana, 1997: 144).

Di dalam setiap pengajaran, khususnya pengajaran sastra drama tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai baik itu secara berkelompok maupun secara individu. Pengajaran sastra di sekolah, khususnya drama merupakan suatu pengajaran yang membutuhkan tindakan atau kegiatan yang dilakukan secara berencana. Sebagai suatu kegiatan yang direncanakan, tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Pendalaman dan pemahaman tujuan tersebut ikut menentukan baik tidaknya pengajaran drama di sekolah. Namun, pada kenyataannya pengajaran sastra tidaklah seindah yang dibayangkan, oleh karena banyaknya tenaga pengajar yang tidak mampu untuk mengajarkan sastra dan dengan berlandaskan atas dasar ketidaktersedianya media ataupun sarana serta metode untuk pengajaran sastra, sehingga harapan terhadap keberhasilan pengajaran sastra sulit untuk terpenuhi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus sebab dapat mengganggu proses pengajaran sastra, khususnya di Sekolah Menengah Atas.

Banyak metode yang dapat digunakan. Namun Seorang guru harus mengetahui metode yang tepat yang dapat di gunakan untuk pengajarannya meskipun media dan sarana untuk pengajaran merupakan ujung tombak dari keberhasilan suatu pembelajaran yang dipegang penuh oleh tenaga pengajar (guru). Metode merupakan cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2003: 740). Oleh karena itu, di dalam proses pengajaran dibutuhkan metode tertentu untuk merangsang anak didik guna keberhasilan pencapaian tujuan dari pengajaran.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh tenaga pengajar yakni menggunakan metode bermain peran di dalam pengajaran drama guna pencapaian hasil belajar yang lebih efektif. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan dan kemunduran mutu pendidikan selalu dikembalikan kepada guru walaupun demikian, terlalu berlebihan sebab keberhasilan proses belajar mengajar ditentukan oleh banyak faktor seperti: siswa, metode, alat, dan sarana pengajaran, serta situasi belajar (Satina dalam Sulfiani, 2004: 2).

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang mengatakan bahwa pengajaran sastra, khususnya pengajaran drama di sekolah itu belum mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi penghambat, salah satunya adalah faktor metode pengajaran yang hendak digunakan.   Adapun penelitian yang saya maksudkan ialah penelitian yang dilkukan oleh Sufiani dengan judul penelitian “Problematika pengajaran drama di SLTP N 3 bantimurung kabupaten maros”, yang menyimpulkan bahwa problematika pengajaran tergolong kedalam dua faktor yakni, faktor intern dan ekstern namun metode pengajaran drama  tergolong pada faktor ektern.

Selain hal itu, pada penelitian ini pula peneliti mencoba untuk tidak menggunakan naskah – naskah drama yang sudah ada sebagai bahan kajian, melainkan peneliti mencoba untuk mengangkat sebuah masalah sosial yang kemudian dibentuk menjadi sebuah naskah   drama. Lain halnya dengan penelitian – penelitian terdahulu yang menggunakan naskah drama yang telah ada sebagai bahan kajiannya. Penelitia – penelitian yang dimaksud  tersebut antara lain  ialah penelitian yang dilakukan oleh Suherman Rauf dengan judul penelitian “Analisis Naskah Drama Mahkamah  karya M. Hasan Pabelatabisyam dengan pendekatan Hermeneutika”, yang hasil penelitiannya menyipulkakan bahwa dalam naskah drama “Mahkamah” terdapat dua unsur ekstensik yang membangun karya sastra ini, yakni unsur religi dan unsur sosial yang diperkuat oleh aspek historisnya yang juga sangat diperlukan dalam perkembangan zaman yang semakin mengglobal dan juga sebagai modal menghadapi tantangan zaman. Dan penelitian yang dilakukan pula oleh Rosdiana dengan judul penelitian “ kajian Tindak Tutur Teks Percakapan Drama Sumur Tanpa Dasar”. Karya Arifin C. Noer

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin mengadakan penelitian untuk mengetahui sejauh manakah keefektifan pengajaran drama dengan menggunakan metode bermain peran pada siswa kelas XI SMU Negeri 07 Makassar.

  1. B.     Rumusan Masalah

Untuk lebih mengarahkan penelitian, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimanakah Efektivitas Pengajaran Drama dengan Menggunakan Metode Bermain Peran pada Siswa Kelas XI SMU Negeri 07 Makassar?”

  1. C.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka pada hakikatnya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan data mengenai keefektivitasan pengajaran drama dengan menggunakan metode bermain peran pada siswa kelas XI SMU Negeri 07 Makassar.

  1. D.    Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.

  1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dalam mengkaji metode-metode pengajaran sastra, khususnya pengajaran drama.

  1. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman atau wawasan tentang metode pengajaran drama, dan memberikan sumbangan pikiran terhadap tenaga pengajar, khususnya pada pengajaran drama.

 

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

  1. A.    Tinjauan Pustaka
    1. 1.      Pengertian Karya Sastra

Karya ialah pekerjaan, hasil perbuatan (ciptaan), asli hasil yang bukan saduran, salinan, atau terjemahan. Lain halnya dengan sastra adalah hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. Jadi, karya sastra ialah hasil sastra baik, baik berupa puisi, prosa, maupun lakon; ciptaan yang dapat menimbulkan rasa indah bagi orang yang melihat, mendengar, atau merasakannya (KBBI, 2003 : 511).

Menurut Zulfahnur dalam Nuriah (1999 : 6), sastra berasal dari kata “Sas” dan “tra.” “Sas” dalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian mengajar, memberi petunjuk; dan “tra” berarti sarana, alat. Maka dari itulah sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Selanjutnya, Teeuw dalam Nuriah (1999: 7) menambahkan bahwa penambahan awalan “Su” pada kata sastra berarti baik, indah, sehingga “susastra” dapat dibandingkan dengan “belleslettres” (Belanda), atau “Letterkunde” (Belanda), yang bermakna sastra indah, terjemahan harfiah dari “litterature” (Latin) yang berarti puisi, sastra. Kata susastra tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Jadi, susastra adalah ciptaan jawa atau Melayu, yang timbul kemudian.

Sastra merupakan bagian dari karya seni, yang keduanya merupakan unsur integral dari kebudayaan dan usianya sudah sangat tua. Kehadiran kedua unsur tersebut hampir bersamaan dengan kehadiran manusia di muka bumi, karena ia diciptakan dan dinikmati oleh manusia. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia, baik dari segi aspek manusia yang memanfaatkan bagi pengalaman hidupnya maupun dari aspek penciptanya yang mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra Zulfahnur ( dalam Nuriah 1999 : 6)

Karya sastra dapat didefinisikan berdasarkan dari mana kita meninjaunya. Misalnya dalam Nuriah (1999 : 6) , menyatakan bahwa sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Berdasarkan definisi tersebut, sastra adalah seni, bukan ilmu pengetahuan. Sastra memiliki jiwa dan badan, jika sastra berupa pikiran, perasaan dan pengalaman manusia. Maka badannya adalah ungkapan bahasa yang indah sehingga mampu memberikan hiburan bagi pembacanya.

Ditinjau dari segi penciptanya, karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Di dalam suatu karya sastra dilukiskan keadaan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa, ide, dan gagasan, serta nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh cerita. Sastra mempersoalkan manusia, kebudayaan serta zamannya (Aminuddin  dalam Nuriah, 1999 : 7)

Dari uraian tersebut, dapat dirumuskan pengertian sastra sebagai berikut:

1)       Sastra adalah kegiatan kreatif seni yang bentuk dan ekspresinya imajinatif;

2)       Sastra adalah tulisan bernilai seni mengenai suatu objek, khusus kehidupan manusia dalam suatu negeri pada suatu masa;

3)       Sastra adalah ekspresi kehidupan dengan media bahasa yang khas;

4)       Sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang berunsur fiksionalitas yang merupakan luapan emosi spontan.

5)       Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

  1. 2.      Ciri Karya Sastra

Badrun dalam nuriah (1999 : 8), menyatakan bahwa keindahan dalam seni sastra dibangun oleh seni kata. Yang dimaksud dengan seni kata ialah penjelmaan pengalaman jiwa yang diekspresikan ke dalam keindahan kata. Bertolak dari bagaimana pengalaman jiwa ke dalam keindahan kata itu, maka sastra sebaiknya bersifat imajinatif. Walaupun karya sastra bersifat imajinatif, namun ia berangkat dari kenyataan hidup secara objektif, dia berangkat dari fenomena kehidupan nyata yang dapat dihayati, dirasakan, dan dimengerti.

Pada tataran karya sastra, faktor, dan fenomena kehidupan yang diangkat itu menjadi fiksi makna. Meskipun ia menggunakan bahan dari kenyataan objektif (realita hidup di masyarakat), kenyataan imajinatif dalam karya sastra tidak identik lagi dengan kenyataan objektif tadi.

Ungkapan pengalaman manusia dalam bentuk bahasa yang ekspresif dan mengesankan terdiri dari berbagai bentuk. Tiap bentuk sastra memiliki syarat dan ciri tersendiri, bahkan ciri tiap bentuk sastra memang tidak mudah untuk dibedakan. Pengertian sastra tidak dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap semua jenis atau bentuk sastra. Jenis sastra ada bermacam-macam, baik jenis ataupun ragamnya, semua menuntut untuk dinamai “karya sastra”.

Ciri karya sastra yang menuntut adanya nilai seni boleh dikatakan tidak ada permasalahan sebab semua karya sastra memiliki nilai seni atau estetiknya. Namun di sisi lain, ada hal yang harus diperhatikan yakni sifat khayati dan penggunaan bahasa yang memiliki beberapa perbedaan sehingga perlu adanya dua penggolongan sastra.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri karya sastra (Harjana  dalam Nuriah 1999 : 9) adalah:

1)      Sastra bersifat Khayati (fictionality), maksudnya lewat daya imajinasi pengarang ingin mengungkapkan kenyataan hidup, menafsirkannya menjadi kenyataan imajinatif kehidupan, agar lebih bermakna dan menarik bagi peminat.

2)      Sastra mengandung nilai estetik (keindahan seni) sehingga karya sastra punya daya pesona tersendiri. Nilai estetik ini memiliki kriteria seperti keutuhan, keseimbangan, keselarasan, dan fokus atau tekanan.

3)      Sastra memakai bahasa yang khas yaitu bahasa yang estetik.

  1. 3.      Pembagian Karya Sastra

Menurut Sumarjo dalam Nuriah (1999 : 10), pada garis besarnya pembagian karya sastra dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu:

1)      Sastra non-imajinatif

Karya sastra non-imajinatif dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:

a)      Essay

b)     Kritik

c)      Biografi

d)     Memoar

e)      Catatan harian

f)       Sejarah

2)      Sastra imajinatif

Karya sastra imajinatif dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu:

a)      Puisi

(1)   Epilog

(2)   Lirik

(3)   Dramatik

b)     Prosa

(1)   Prosa narasi, yang terdiri atas:

(a)   Novel

(b)   Cerpen

(c)    Novelet

(2)   Drama, yang terdiri atas:

(a)   Tragedi

(b)   Komedi

(c)    Melodrama

  1. 4.      Pengertian Drama

Istilah “drama” semula berasal dari Yunani yang berarti perbuatan atau pertunjukan. Sebagai sebuah karya seni yang lainnya dasar karya sastra ini pun berasal dari kehidupan manusia dengan serba anekanya. Hanya bedanya, jika cerpen, novel, atau pun puisi, cara menikmati dan juga memahaminya dengan dibaca, berbeda dengan karya sastra drama yakni harus dengan cara menontonnya. Selain dengan cara menonton, cara menikmatinya pun dapat dengan membaca naskah atau skenario, tetapi hal itu bukanlah menikmati drama dalam arti yang sebenarnya. Sebuah skenario atau naskah drama, hakikatnya bukanlah sebuah drama karena unsur-unsur esensial sebuah “seni drama” belum kelihatan lengkap dan sempurna sebelum naskah tersebut dipentaskan. Drama merupakan komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan (KBBI, 2003: 275).

Menurut Oemardjati (dalam Rosdiana, 2002: 9) mengatakan bahwa drama dalam perkembangannya mengandung arti kejadian, risalah, dan karangan. Selanjutnya, Rahmanto (dalam Rosdiana,           2002: 9) mendefinisikan drama sebagai bentuk karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya, yang diperagakan di atas panggung (pentas). Ia menegaskan bahwa drama yang dipentaskan itu mengungkapkan nilai moral dan dalam pementasannya menimbulkan ketegangan yang mementingkan kesatuan perbuatan, tempat, dan waktu.

Adapun beberapa batasan yang dikemukakan antara lain; oleh H.B. Yasin (dalam Sufiani, 2004: 6) mengatakan bahwa drama adalah rentetan kejadian yang merupakan  cerita. Sedangkan menurut Rendra (dalam Sufiani, 2004: 6) mengatakan bahwa drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan pikiran dan perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan ucapan kata-kata. Pendapat lain yakni dari Aristoteles (dalam Sufiani, 2004: 6) bahwa drama adalah penyajian atau peragaan (peniruan) semua kejadian atau cerita. Sedangkan menurut Moolton (dalam Sufiani, 2004: 6) mengemukakan bahwa drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerak. Selain itu, drama adalah cerita yang dipanggungkan (Hazin, 1990: 90).

Kata “drama” biasanya diperuntukkan bagi karya pentas yang serius, sehingga hampir sinonim dengan tragedi. Tokoh-tokoh dalam sebuah drama meliputi: peran utama dipegang oleh protagonis lawannya ialah antagonis. Perbuatan dan pandangan kedua tokoh itu yang berbeda menimbulkan konflik (Hartoko, 1986: 20).

Menurut (Rosidi, 1998: 56), umumnya drama-drama itu berbentuk Closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan. Di dalamnya kurang sekali aksi ataupun pertunjukkan watak, melainkan banyak sekali percakapan. Namun, rata-rata drama itu pernah juga dipertunjukkan di atas panggung.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan sumber di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1)      Drama adalah cabang seni,

2)      Drama dapat berbentuk prosa atau puisi,

3)      Drama mementingkan dialog, gerak, dan perbuatan,

4)      Drama adalah lakon yang dipentaskan di atas panggung,

5)      Drama adalah seni menggarap lakon-lakon, mulai penulisan hingga pementasannya,

6)      Drama membutuhkan ruang, waktu, dan penonton,

7)      Drama adalah gambaran hidup yang disajikan dalam gerak,

8)      Drama adalah sejumlah kejadian yang memikat dan menarik hati.

  1. 5.      Unsur-unsur yang Membangun Drama

Unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dikategorikan ke dalam dua bagian yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang membangun karya sastra dari luar karya sastra tersebut. Misalnya; agama, ekonomi, kebudayaan, maupun adat istiadat.

Adapun unsur intrinsik yang membangun karya sastra drama yaitu:

1)      Tema

Tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk dan membangun dasar bahkan gagasan utama dari suatu karya fiksi.

Selanjutnya dikatakan bahwa tema pokok pikiran atau dasar cerita (KBBI, 2003: 1164). Selain itu, tema juga tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tujuan yang hendak dicapai oleh pengarang. Jadi, dalam pengertian tema tercakup persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca.

Tema dalam sebuah drama memerlukan kepekaan dan pemahaman yang tinggi. Kepekaan dan pemahaman itu dapat diperoleh dengan adanya usaha untuk memahami informasi-informasi penting yang terdapat pada drama tersebut.

2)      Latar (setting)

Latar atau setting adalah merupakan latar belakang fisik, unsur tempat, waktu, dan suasana dalam sebuah cerita. Akan tetapi, latar sebuah cerita itu akan berkaitan dengan hal seperti adat istiadat, agama, dan lain sebagainya yang berhubungan dan hendak diceritakan. Latar merupakan pemandangan yang dipakai dalam pementasan drama, seperti pengaturan tempat kejadian, perlengkapan, dan pencahayaan (KBBI, 2003: 643).

Pemilihan latar atau setting yang baik itu dapat membentuk tema dan plot tertentu. Setting atau latar dapat mencakup hal yang lebih luas lagi, seperti tingkat pendidikan pelaku, usia, bahkan jenis kelamin. Pemilihan latar seperti ini hendaknya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi seperti dalam cerita. Junaedi (dalam Sufiani; 2004: 9).

3)      Penokohan

Perwatakan atau penokohan ialah tokoh pemain dalam karya susastra yang hanya diungkapkan satu segi wataknya, tidak dikembangkan secara maksimal, dan apa yang dilakukan atau dikatakannya tidak menimbulkan kejutan pada pembaca (KBBI, 2003: 1203).

4)      Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil oleh pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Namun hal itu harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi. Sebab sebuah drama yang diangkat oleh si pengarang adalah merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupan (Fujiwiatna, 2003: 15).

Secara struktural lakon atau cerita drama terdiri atas lima bagian, (Juanda, 2002: 75) yakni:

a)      Pemaparan atau eksposisi yaitu bagian lakon drama yang berisi pembeberan atau penjelasan mengenai situasi awal suatu cerita. Pada bagian ini, akan ditampilkan hal-hal yang berhubungan dengan waktu, tempat, serta aspek-aspek psikologis tokoh. Melalui bagian inilah tema cerita atau sering disebut pula dengan premis diperkenalkan demikian rupa sehingga penonton atau penikmatnya mengetahui konflik. Walaupun selama berlangsung pemaparan tersebut, situasi masih dalam keseimbangan artinya belum terjadi konflik yang sebenarnya.

b)     Penggawatan atau komplikasi yaitu drama yang secara jelas menunjukkan adanya konflik yang sebenarnya. Dalam bagian ini tampak keseimbangan mulai terganggu, terutama karena adanya atau munculnya perbuatan-perbuatan perangsang. Pada bagian inilah pengarang mempertemukan protagonis dengan antagonis untuk membranous konflik yang merupakan dasar sebuah cerita drama.

c)      Puncak atau klimaks yaitu bagian cerita yang merupakan puncak ketegangan cerita, merupakan titik perselisihan paling tinggi antara protagonis dengan antagonis. Bagian ini merupakan bagian cerita paling penting. Dengan demikian, sudah tidak mungkin diperhebatkan lagi.

d)     Peleraian atau anti klimaks yaitu bagian tempat pengarang mengetengahkan pemecahan konflik.

e)      Penyelesaian atau konklusi yaitu bagian cerita yang berfungsi mengembalikan lakon pada keseimbangan awal.

  1. 6.      Jenis Karya Sastra Drama

1)      Berdasarkan Isi Lakon

Berdasarkan isi lakon atau ceritanya (Juanda, 2002: 80), karya sastra drama dapat dibagi sebagai berikut:

a)      Tragedi atau duka cita; yaitu jenis drama yang melukiskan perikehidupan tokoh yang penuh dengan kemalangan atau kesedihan.

b)     Komedi atau suka cerita; yaitu melukiskan perikehidupan tokoh yang membuat selalu tergelitik untuk tertawa.

c)      Melodrama; yaitu jenis drama yang merupakan gabungan antara tragedi dan komedi.

d)     Farce; yaitu jenis drama yang kejadian-kejadiannya dan tokoh-tokohnya pun mungkin terjadi bahkan ada, tetapi tidaklah begitu besar kemungkinannya itu, menimbulkan kelucuan seenaknya yang tidak teratur dan tidak menentu. Selain itu, segala sesuatu yang terjadi muncul dari situasi, bukan dari tokoh.

 

2)      Berdasarkan Penyajian

Jika dipandang dari cara menyajikannya di atas pentas atau panggung (Juanda, 2002: 81), maka drama dapat dibedakan atas:

a)      Pantomim, yakni jenis drama yang cara menyajikannya hanya dengan gerak-gerak saja. Dalam drama jenis ini tidak akan kita jumpai kata-kata atau dialog antar pelakunya.

b)     Opera, yakni drama yang dialog-dialognya disampaikan dengan nyanyian.

c)      Sendratari, yakni jenis drama yang penyuguhannya menggunakan tarian. Pada drama jenis ini, dialog juga tidak akan kita temukan dalam pementasan. Kata “Sendratari” adalah gabungan dari “Seni drama” dan “tari”.

d)     Drama mini kata. Dalam drama jenis ini, dialog-dialog antara para pelaku amat sedikit kita dapatkan. Contoh drama mini kata, misalnya:

–      Bib Bop karya W.S. Rendra

–      Entah karya Putu Wijaya

  1. 7.      Pengajaran Drama di Sekolah

Rahmanto (di dalam Djumingin, 2004: 43) memaparkan tentang penahapan penyajian drama sebagai berikut:

1)      Pelacakan Pendahuluan

Sebelum guru menyajikan naskah drama di kelas, sebaiknya ia lebih dahulu menyeleksi dan menguasai isi drama itu, ia mendahului dengan menceritakan secara singkat pokok persoalan dalam naskah drama.

2)      Penentuan Sikap Praktis

Guru sebaiknya menyampaikan drama baik melalui cerita atau memperlihatkan contoh pementasan melalui rekaman video, dan tindakan lain yang dapat membangkitkan minat siswa untuk mempelajari drama.

3)      Introduksi dan Penyajian

–          Setiap siswa diberi teks agar ia dapat mempelajari

–          Diajukan pertanyaan-pertanyaan sekilas isi drama untuk mengetahui pemahaman siswa akan isi drama dan memancing mereka untuk secara tidak langsung membaca drama secara berulang-ulang.

–          Mendiskusikan fakta lewat pertanyaan-pertanyaan.

–          Memilih salah seorang siswa sebagai sutradara yang tidak hanya memahami alur cerita, tetapi juga dapat membaca arah penampilan panggung dan bila perlu dapat menggambarkan situasi serta memberi komentar spontan dan jelas.

4)      Diskusi

Pertanyaan dalam diskusi ini sebagai upaya untuk membantu pemahaman siswa dan mendorong pemeran untuk meneliti makna adegan dengan lebih jeli.

5)      Pengukuhan

Pengukuhan dapat dilakukan dengan cara melaporkan pementasan, menuliskan dialog, membuat adegan, mencari cerita pendek, novel yang dapat diubah menjadi teks drama atau sebaliknya drama diubah menjadi cerpen/novel/sinopsis.

6)      Diskusi lanjut

Di samping pembahasan yang mendalam tentang isi teks, diskusi hendaknya disertai dengan peragaan praktis adegan-adegan tertentu.

7)      Praktek percobaan

Percobaan ini dapat memanfaatkan gedung sekolah dengan cara membagi kelompok. Setiap kelompok diberi tugas untuk mempelajari adegan tertentu, kemudian memerankannya dengan versi mereka sendiri untuk diamati oleh teman-teman sekelasnya yang lainnya. Cara ini cocok untuk menumbuhkan pemikiran baru, saran-saran dan perbaikan pada praktek pementasan selanjutnya.

8)      Latihan mengucapkan dialog

–     Semua siswa diajak untuk memperhatikan lafal, lagu, tekanan, jeda, tempo, ekspresi wajah dan suasana keheningan.

–     Guru selalu siap untuk mendemonstrasikan bagaimana mengucapkan dialog dan berakting dengan baik.

–     Guru memilih para pemain yang tepat dan penghafalan teks dimulai.

–     Proses memilih para pemain yang tepat dan penghafalan teks dimulai.

–     Proses penghafalan teks ini dapat diulang-ulang dengan menekankan nilai dramatis di tempat-tempat tertentu dalam teks tersebut.

9)      Akting

–          Kapan seorang pemain harus muncul, bagaimana posisinya, kapan harus mengubah posisinya, gerakan-gerakan apa yang harus dilakukan agar dapat menimbulkan efek dramatis, kapan harus diam dan kapan harus berkata-kata atau berteriak.

–          Unsur gerak dan kata-kata dapat dipadukan dalam bentuk lakon sehingga permainan akan menjadi lebih hidup.

10)  Pementasan

–          Guru harus menentukan pementasan macam apa yang diinginkan. Apabila pentas drama untuk umum, maka guru harus bertindak sebagai produser, melatih secara khusus, membagi tugas untuk pementasan.

–          Guru tidak perlu mempersiapkan perlengkapan lengkap jika drama tidak dipentaskan untuk umum.

  1. 8.      Strategi Pengajaran Drama

Rahmanto (dalam Djumingin, 2004: 42) memaparkan cara mengajarkan drama pada siswa, yakni:

–          Melakukan pembacaan naskah drama di kelas sebagai suatu cara perkenalan.

–          Menyiapkan rekaman atau model drama.

–          Memberikan latihan gerak semua anggota tubuh (olah tubuh) sebagai latihan dasar.

–          Siswa disuruh mengamati dan mendiskusikan gerakan atau aktivitas temannya.

–          Setelah para siswa berhasil menirukan gerakan-gerakan sederhana dengan baik, mereka kemudian dapat diminta untuk memikirkan situasi yang lebih kompleks dengan menirukan gerak-gerak yang lebih bervariasi.

–          Sampai pada tahap-tahap tertentu, latihan gerak ini hendaknya mulai disertai dengan latihan mengucapkan kata-kata.

–          Untuk latihan perpaduan gerak dengan kata-kata ini, guru hendaknya menentukan pemilihan cerita dan skenario yang sebelumnya telah dikenal siswa.

–          Siswa hendaknya mulai dibina untuk mencari situasi dramatis dalam cerita dan mencoba menyusunnya sendiri.

  1. 9.      Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan oleh Guru dalam Pementasan Drama

Adapun beberapa aspek yang penting untuk diperhatikan sebelum pementasan drama dilakukan, yakni:

1)      Alur Cerita

Sebagai guru, harus benar-benar memahami jalannya cerita dari satu adegan ke adegan berikutnya, sehingga dapat memberikan pengarahan yang benar kepada anak-anak.

 

2)      Waktu

Alokasi waktu harus diatur dengan baik untuk setiap adegan, agar setiap adegan tidak  menyerap waktu terlalu banyak.

3)      Penokohan

Pilihlah anak-anak yang memiliki kemampuan (menghafal dan berakting) dan keberanian untuk menjadi pemeran utama, yang harus mengucapkan dialog. Namun demikian, Anda jangan mengabaikan anak yang pemalu. Mereka tetap dapat diikutsertakan dalam drama sebagai pemeran pembantu atau figuran yang tidak perlu mengucapkan banyak kata-kata.

4)      Setting Panggung

Penataan panggung ini dapat disesuaikan dengan besarnya panggung. Untuk yang besar dan luas, maka bisa ditata sedemikian rupa sesuai dengan adegan-adegan dalam naskah (dua atau tiga latar belakang). Namun untuk panggung yang tidak besar, panggung dapat ditata dalam tiap babak.

5)      Kostum Pemain

Sedapat mungkin sediakan kostum yang sesuai dengan cerita untuk menambah semarak pementasan cerita.

 

6)      Musik Pengiring

Iringan musik dapat digunakan untuk mendukung suasana dalam setiap adegan dan setiap babak. Untuk itu persiapkan musik pengiring yang sesuai dengan semangat setiap babak.

7)      Lighting

Lighting juga dapat digunakan untuk mendukung suasana. Anda bisa menggunakan spot light dengan aneka warna. Namun apabila tidak ada spot light Anda bisa menggunakan bohlam aneka warna yang ditata sedemikian rupa, sehingga Anda dapat mengatur lampu sesuai dengan apa yang diinginkan.

8)      Sound System

Sediakan sound system yang memadai dan beberapa mikrofon di panggung agar anak tidak perlu berteriak dalam mengucapkan dialognya.

9)      Latihan

Usahakan latihan sebanyak mungkin agar anak semakin mahir dalam melakukannya. Dalam latihan yang perlu diperhatikan:

–          latihan menghafal naskah dan urutan-urutan adegan,

–          latihan suara, khususnya intonasi suara,

–          latihan ekspresi wajah dan sikap,

–          latihan akting adegan yang sulit-sulit.

10)  Pementasan

Pada saat pementasannya, pastikan anak-anak tidak tegang. Berikan waktu persiapan ekstra supaya tidak terburu-buru, khususnya dalam mendandani anak dan memakaikan kostumnya.

  1. 10.  Keuntungan-keuntungan mengajarkan drama bagi siswa

Dengan mengajarkan drama kepada siswa, maka ada beberapa keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh oleh siswa ber­sangkutan, hal ini dipaparkan dalam jurnal yang diakses dari internet.

1)      Cara efektif untuk menolong anak belajar konsep-konsep, prinsip-prinsip dan sifat-sifat manusia yang abstrak.

2)      Kemampuan anak untuk berkonsentrasi terbatas (15 menit), lebih dari itu akan sulit. Oleh karena itu, mendengarkan satu orang yang berbicara secara monoton akan membuat anak cepat bosan. Dengan drama anak mendapat lebih banyak variasi sehingga anak bisa bertahan duduk dan mendengarkan cerita lebih lama.

3)      Dengan mendengar dan melihat cerita lewat drama, anak akan mengingat apa yang diajarkan lebih baik; apalagi untuk anak-anak yang terlibat langsung dalam memainkan drama.

4)      Melalui drama, anak akan mendapatkan kesan emosi yang mendalam karena dengan melihat secara langsung adegan itu dimainkan, anak akan mendapatkan kesan emosi tidak mudah dilupakan.

5)      Bagi anak-anak yang terlibat dalam memainkan drama, mereka dapat belajar untuk mengekspresikan emosi-emosi tertentu.

6)      Melatih anak untuk berani berdiri di depan umum dan memberikan rasa percaya diri kalau mereka berhasil melakukannya.

7)      Membangun kemampuan kerja sama dalam kelompok.

8)      Mendorong anak berkreasi dan mengembangkan talenta yang ada.

Sebelum menyajikan sastra, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal memahami masalah pengembangan minat baca siswa, yakni dengan menggiatkan minat baca siswa. Masalah pembinaan kebiasaan membaca dengan memperhatikan 4 aspek, yakni: memberi contoh, sugesti, kemudahan, dan pengukuhan.

Guru sastra hendaknya dapat memancing kesiapan para siswanya untuk mengikuti contoh-contohnya dengan memberikan bacaan berupa cerita baru, esai, dan puisi yang sesuai dengan situasi khusus dihadapi siswa-siswanya.

Guru juga memberikan sugesti dengan cara: memperkenalkan buku-buku anjuran dengan memberikan daftar buku, menunjukkan di mana diperoleh buku tersebut.

Di samping itu,  guru memberi kemudahan dalam hal pemilihan edisi buku, mengawali pembicaraan dengan menyenangkan, memberikan penahapan belajar, membuat cerita lebih hidup, pendekatan, metode, dan teknik yang bervariasi, membuat catatan ringkas, serta pengkajian ulang dengan cara diskusi.

Sebagai pengukuhan, guru menyarankan agar siswa membuat catatan singkat tentang apa yang mereka baca, memperkenalkan aspek perbukuan (cara mencetak, mendistribusi, pembiayaan, tipografi, penjilidan, penerbitan). Kunjungan ke tempat penerbitan, dan kliping.

Karya sastra drama sama halnya dengan karya sastra lainnya mengandung peranan penting dalam kehidupan manusia, termasuk bagi dunia pendidikan. Artinya pengajaran drama membawa manfaat yang besar terhadap anak didik.

Menurut Moody (dalam Sufiani, 2004: 16), sumbangan sastra drama khususnya dalam dunia pendidikan adalah:

a)      Menunjang keterampilan berbahasa siswa,

b)     Meningkatkan pengetahuan siswa,

c)      Mengembangkan cipta, karsa, dan rasa siswa,

d)     Mengembangkan pembentukan watak siswa.

Selain itu, menurut Sastrowadoyo (dalam Sufiani, 2004: 16) mengemukakan bahwa manfaat utama drama bagi siswa adalah:

a)      Memupuk kerja sama yang baik dalam pergaulan siswa,

b)     Memberi kesempatan kepada siswa untuk melahirkan daya kreasi masing-masing,

c)      Mengembangkan emosi sehat anak,

d)     Menghilangkan sifat malu, gugup, dan lain-lain.

e)      Mengembangkan apresiasi dan sikap yang baik,

f)       Menghargai pendapat dan pikiran orang lain,

g)     Menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri,

h)     Mengurangi kejahatan dan kenakalan anak-anak.

Begitu pentingnya karya drama dalam kehidupan manusia, maka secara antusias Sami (dalam Sufiani, 2004: 17) , mengemukakan bahwa kita sangat terkait dengan suatu drama. Dengan drama, kita dapat menyalurkan emosi, dapat berekspresi dengan senang, dapat menumbuhkan emosi yang menyenangkan, memperkaya pemikiran, mengembangkan rasa ingin tahu, dan spekulasi, serta mengembang­kan rasa simpati.

  1. 11.  Metode Bermain Peran
    1. a.      Pengertian Metode Bermain Peran

Bermain peran atau teknik sosiodrama adalah suatu jenis teknik simulasi yang umumnya digunakan untuk pendidikan sosial dan hubungan antarinsan (Hamalik, 2005: 199).

Teknik sosiodrama ialah teknik yang bertalian dengan studi kasus, tetapi kasus tersebut melibatkan individu manusia dan tingkah laku mereka atau interaksi antarindividu tersebut dalam bentuk dramatisasi. Para siswa dapat berpartisipasi sebagai pemain dengan peran tertentu atau sebagai pengamat (observer) bergantung pada tujuan-tujuan dari penerapan teknik tersebut. Di sisi lain, Roestiyah (2001 : 90) mengatakan bahwa teknik-teknik sosiodrama ialah siswa dapat mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial antarmanusia. Ataupun rool-playing di mana siswa bisa berperan atau memainkan peran dalam dramatisasi masalah sosial/psikologis. Karena itulah, kedua teknik ini hampir sama, maka dapat digunakan pul secara bergantian dan tidak ada salahnya.

Tidak berbeda jauh dengan yang dikemukakan oleh Sabri (2005: 61) yang mengatakan bahwa metode sosiodrama adalah metode mengajar dengan mendemonstrasikan cara bertingkah laku dalam hubungan sosial, sedangkan bermain peran menekankan kenyataan di mana para siswa diikutsertakan dalam permainan peranan di dalam mendemonstrasikan masalah-masalah sosial. Tidak begitu menyimpang dengan yang dikemukakan oleh Roestiyah di atas, maka Djamarah dan Zain (2002: 100) mengemukakan bahwa metode sosiodrama dan rool-playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam pemakaiannya sering disilihgantikan. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial.

Penggunaan metode sosiodrama dan bermain peran dilakukan:

  1. Apabila ingin melatih anak-anak agar mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat sosial psikologis.
  2. Apabila akan melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi pemahaman terhadap orang lain serta masalahnya.
  3. Apabila ingin menerangkan suatu peristiwa di dalamnya menyangkut orang banyak.

Guru menggunakan teknik ini dalam proses belajar mengajar memiliki tujuan agar siswa dapat memahami perasaan orang lain; dapat tepa seliro dan toleransi. Kita juga mengetahui sering terjadinya perselisihan dalam pergaulan hidup antar kita; dapat disebabkan karena salah paham. Maka dengan sosiodrama mereka dapat menghayati peranan apa yang dimainkan, mampu menempatkan diri dalam situasi orang lain yang dikehendaki guru. Ia bisa belajar watak orang lain, cara bergaul dengan orang lain, cara mendekati dan berhubungan dengan orang lain, dalam situasi itu mereka harus bisa memecahkan masalahnya. Siswa dapat mengerti dan menerima pendapat orang lain. Dalam kelompok tertentu sering terjadi perbedaan pendapat; yang satu mempunyai pendapat yang lain, hal itu terjadi karena perbedaan sudut tinjauan dan argumentasi yang berbeda. Dengan mendramatisasikan siswa dalam situasi peran yang dimainkannya harus bisa berpendapat, memberikan argumentasi dan mempertahankan pendapatnya, tetapi bila perlu harus bisa mencari jalan keluar atau kompromi bila terjadi banyak perbedaan pendapat. Kemudian siswa dengan perannya itu harus mampu mengambil kesimpulan/Keputusan; karena dalam kehidupan bersama kita tidak bisa hidup sendiri; apalagi bermasyarakat Indonesia berasaskan demokrasi, dan prinsip gotong-royong serta kekeluargaan. Maka hal-hal yang menyangkut kesejahteraan bersama perlu ada musyawarah dan mufakat agar dapat mengambil keputusan bersama. Maka siswa dengan bermain peran, harus dapat melakukan perundingan untuk memecahkan bersama masalah yang dihadapi dan akhirnya mencapai keputusan bersama.

  1. b.     Langkah-langkah di dalam Bermain Peran

Dalam melaksanakan teknik ini agar berhasil dengan efektif, maka perlu mempertimbangkan langkah-langkahnya. Adapun langkah-langkah yang dikemukakan oleh Roestiyah (2001, 91) sebagai berikut:

–          Guru harus menerangkan kepada siswa, untuk mem­perkenalkan teknik ini, bahwa dengan jalan sosiodrama siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat, maka kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan; masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya. Dan siswa yang lain jadi penonton dengan tugas-tugas tertentu pula.

–          Guru harus memilih masalah yang urgen, sehingga menarik minat anak. Ia mampu menjelaskan dengan menarik, sehingga siswa terangsang untuk berusaha memecahkan masalah itu.

–          Agar siswa memahami peristiwanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil untuk mengatur adegan yang pertama.

–          Bila ada kesediaan sukarela dari siswa untuk berperan, harap ditanggapi tetapi guru harus mempertimbangkan apakah ia tepat untuk perannya itu. Bila tidak ditunjuk saja siswa yang memiliki kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman seperti yang diperankan itu.

Jelaskan pada pemeran-pemeran itu sebaik-baiknya sehingga mereka tahu tugas peranannya, menguasai masalahnya pandai bermimik maupun berdialog. Siswa yang tidak turut harus menjadi penonton yang aktif, di samping mendengar dan melihat mereka harus bisa memberi saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah sosiodrama selesai. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam situasi klimaks, maka harus dihentikan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. Sosiodrama dapat dihentikan pula bila sedang menemui jalan terpecahkan, maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat barangan yang berbentuk sandiwara.

  1. c.       Tujuan Penggunaan Metode Bermain Peran

Di dalam penggunaan metode bermain peran ada beberapa tujuan. Tujuan itu salah satunya sesuai dengan jenis belajarnya yang mana dikemukakan oleh Hamalik (2005: 199) yaitu:

1)      Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reaktif.

2)      Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka.

3)      Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku para pemain/pemegang peran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan.

4)      Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.

Selain yang dikemukakan oleh Hamalik, adapun beberapa tujuan penggunaan metode bermain peran yang dikemukakan oleh Djamarah dan Zain. (2002: 100), yakni:

a)      Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain.

b)     Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan.

c)      Merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah.

Di samping tujuan penggunaan metode bermain peran, adapun beberapa petunjuk guna menggunakan metode bermain peran yang juga dikemukakan oleh Djamarah dan Zain (2002:100)

a)        Tetapkan dahulu masalah-masalah sosial yang menarik perhatian siswa untuk dibahas.

b)       Ceritakan kepada kelas (siswa) mengenai isi dari masalah-masalah dalam konteks cerita tersebut.

c)        Tetapkan siswa yang dapat atau yang bersedia untuk memainkan peranannya di depan kelas.

d)       Jelaskan kepada pendengar mengenai peranan mereka pada waktu sosiodrama sedang berlangsung.

e)        Beri kesempatan kepada para pelaku untuk berunding beberapa menit sebelum berlangsung.

f)         Akhiri sosiodrama pada waktu situasi pembicaraan mencapai ketegangan.

g)       Akhiri metode dengan diskusi kelas untuk bersama-sama memecahkan masalah persoalan yang ada pada metode tersebut.

h)       Jangan lupa menilai hasil dari penggunaan metode tersebut sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut.

  1. d.     Organisasi Bermain Peran

Pola organisasi disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi tertentu, yaitu pemain, pengamat, dan pengkaji. Ada tiga organisasi, yang dipaparkan oleh hamalik (2005 : 199 ) yakni sebagai berikut:

1)      Bermain peran tunggal (single role-play). Mayoritas siswa bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang dipertunjukkan (sosiodrama). Tujuannya adalah untuk membentuk sikap dan nilai.

2)      Bermain peran jamak (Multiple role-play). Para siswa dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan penentuannya disesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan. Tiap peserta memegang dan memainkan peran tertentu dalam kelompoknya masing-masing. Tujuannya juga untuk mengembangkan sikap.

3)      Peranan ulangan (role repetition). Peranan utama dalam suatu drama atau simulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa bergiliran. Dalam situasi seperti itu setiap siswa belajar melakukan, mengamati, dan membandingkan perilaku yang ditampilkan oleh pemeran sebelumnya. Pendekatan itu banyak dilaksanakan dalam rangka mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif.

  1. e.      Kelebihan dan Kelemahan Metode Bermain Peran

Setiap metode pembelajaran pasti memiliki kelebihan serta kelemahan, begitu pula dengan metode ini. Oleh karena itu, Djamarah dan Zain (2002: 101) mengemukakan, yakni:

  1. Kelebihan Metode Bermain Peran

–          Siswa melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat, isi bahan yang akan didramakan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.

–          Siswa akan terlatih untuk berinisiatif dan rekreatif. Pada waktu main drama para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.

–          Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah. Jika seni drama mereka dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan menjadi pemain yang baik kelak.

–          Kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.

–          Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.

–          Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahan yang baik agar mudah dipahami orang lain.

 

  1. Kelemahan Metode Bermain Peran

–          Sebagian besar anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang kreatif.

–          Banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukkan.

–          Memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menjadi kurang bebas.

–          Sering kelas lain terganggu oleh suara para pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan, dan sebagainya.

Selain itu, ada pula beberapa kelemahan yang dikemukakan oleh Roestiyah (2001: 92), yaitu bahwa kalau guru tidak menguasai tujuan instruksional penggunaan teknik ini untuk sesuatu unit pelajaran, maka sosiodrama (Metode bermain peran) juga tidak akan berhasil. Dengan metode ini jangan menjadi kesempatan untuk menumbuhkan sifat prasangka yang buruk, ras, diskriminasi, balas dendam dan sebagainya; sehingga menyimpang dari tujuan semula.

Dalam hubungan antarmanusia selalu memperhatikan norma-norma, kaidah, sosial, adat istiadat, kebiasaan, dan keyakinan seseorang, jangan sampai ditinggalkan, sehingga tidak menyinggung perasaan seseorang.

Kekurangan/kelemahan terakhir bila guru tidak memahami langkah-langkah pelaksanaan metode ini, sehingga akan mengacaukan berlangsungnya sosiodrama, karena yang mengacaukan berlangsungnya sosiodrama karena yang memegang peranan atau penonton tidak tahu arah bersama-sama.

Namun demikian teknik ini lebih banyak keunggulan/kelebihannya. Bahkan dengan teknik ini, siswa lebih tertarik perhatiannya pada pelajaran karena masalah-masalah sosial sangat berguna bagi mereka. Karena mereka bermain peranan sendiri, maka mudah memahami masalah-masalah sosial itu. Bagi siswa dengan berperan seperti orang lain itu, maka ia dapat menempatkan diri seperti watak orang lain. Ia dapat merasakan perasaan orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain, sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi, dan cinta kasih terhadap sesama makhluk akhirnya siswa dapat berperan dan menimbulkan diskusi yang hidup karena merasa menghayati sendiri permasalahannya. Juga penonton tidak pasif, tetapi aktif mengamati dan mengajukan saran dan kritik.

  1. B.     Kerangka Pikir

Dengan memperhatikan uraian pada tinjauan pustaka, maka pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai landasan berpikir untuk mengarahkan penulis menentukan data dan informasi dalam penelitian ini, demi pemecahan masalah yang telah dirumuskan di depan.

Landasan pemikiran yang dijadikan pegangan dalam penulisan ini adalah penggunaan metode bermain peran yang digunakan oleh guru di dalam pengajaran drama di sekolah.

Adapun skema kerangka pikir sebagai berikut:

 

Bagan Kerangka Pikir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu langkah tentang pelaksanaan yang harus ditempuh untuk memperoleh hasil dan tujuan penelitian. Proses pelaksanaan penelitian ini meliputi pengertian variabel dan desain penelitian, definisi operasional variabel, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

  1. A.    Variabel dan Desain Penelitian
    1. Variabel Penelitian

Penelitian ini berjudul “Efektivitas Pengajaran Drama dengan Menggunakan Metode Bermain Peran pada Siswa Kelas XI SMU Negeri 07 Makassar.” Adapun variabelnya yaitu Efektivitas Pengajaran Drama dengan Menggunakan Metode Bermain Peran yang juga biasa disebut dengan variabel tunggal.

  1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen dengan melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Sebagai gambaran umum proses berlangsungnya penelitian ini, maka diuraikan desain penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu:

  1. Memberikan perlakuan yang berbeda pada siswa sampel baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, yaitu kelompok eksperimen diberi perlakuan (koreksian). Perlakuan yang dimaksud yakni pemaparan tentang drama secara jelas dan juga penyelesaiannya. Sedangkan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan (non-koreksian), maksudnya kelas kontrol hanya mendapatkan informasi tentang isi drama tersebut tanpa adanya penyelesaian yang terdapat pada drama tersebut. Penyelesaian tentang tentang permasalahan yang terdapat pada drama tersebut. Setelah itu, kedua kelompok diberi tes yang sama.
  2. Setelah diberi perlakuan yang berbeda, kedua kelas diuji coba dengan memberi tes untuk mengetahui bagaimana penguasaan siswa terhadap materi atau pun drama yang telah dipaparkan oleh peneliti.
  3. B.     Definisi Operasional Variabel

Keefektifan metode bermain peran adalah suatu keberhasilan, pengaruh sebagai akibat dari perlakuan metode dan media dalam proses pembelajaran, perlakuan yang dimaksud dalam hal ini adalah penggunaan metode bermain peran dalam proses belajar mengajar pada pembelajaran drama guna mengetahui tingkat keberhasilan metode pengajaran tersebut.

Metode bermain peran itu sendiri merupakan suatu jenis teknik simulasi yang umumnya digunakan untuk pendidikan sosial dan hubungan antarinsan (Hamalik, 2005: 199).

Jadi maksud dari penggunaan metode bermain peran  pada drama ini yakni peneliti menyajikan sebuah permasalahan sosial yang telah dikemas dalam bentuk drama yang kemudian dipaparkan kepada siswa dengan tujuan  agar siswa mampu memerankan tokoh-tokoh yang ada pada drama tersebut dengan baik serta mampu menyelesaikan  masalah yang ada drama itu pula.

  1. C.    Populasi dan Sampel
    1. 1.      Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1998: 115). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua siswa kelas XI SMU Negeri 07 Makassar tahun ajaran 2006/2007 yang terdiri atas tujuh kelas, yaitu: semua siswa kelas XI IPA dan XI IPS dengan jumlah siswa 230 orang.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel 1.1  berikut ini:

Tabel. 1.1  Keadaan Populasi

No. Urut

Kelas Populasi

   Jumlah

XI IPA1

  40 orang

XI IPA2

  40 orang

XI IPA3

  41 orang

XI IPA4

39 orang

XI IPS1

  35 orang

XI IPS2

  35 orang

Jumlah

230 orang

Sumber: Daftar hadir SMU Negeri 07 Makassar tahun ajaran 2006/2007

  1. 2.      Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1998: 117). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik random atau acak. Dalam artian, sampel itu didasarkan dengan pertimbangan bahwa jumlah sampel tersebut dapat mewakili jumlah populasi. Karena jumlah subjeknya besar, maka sampel yang diambil disatukan dalam dua kelas yakni kelas A sebagai kelas eksperimen dan kelas B sebagai kelas kontrol.

Penarikan sampel dilakukan dengan purposif sampel dengan pertimbangan bahwa subjek yang diteliti itu mempunyai latar belakang pembelajaran yang sama baik karena referen (buku acuan) yang digunakan dalam pembelajarannya sama, serta guru dan metode pembelajaran yang mereka dapatkan juga sama. Karena jumlah populasi yang diteliti sebanyak 230 siswa, maka dalam penelitian ini ditetapkan jumlah sampel sebanyak dua kelas yakni kelas XI IPS1 sebagai kelas eksperimen dan XI IPS2 sebagai kelas kontrol, yang terdiri atas masing-masing 35 siswa.

  1. D.    Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Adapun teknik yang ditempuh oleh peneliti dalam mengumpulkan data, yaitu:

  1. Observasi

Observasi merupakan kegiatan dalam penelitian ini yang dilakukan dengan mengunjungi objek penelitian selama satu bulan. Hal ini dilakukan oleh peneliti guna ketika pelaksanaan penelitian dilakukan, tidak akan ada lagi rasa asing terhadap si peneliti dan objek.

Selain itu, observasi pula dilakukan oleh peneliti ketika objek penelitian sedang melakukan tes yaitu bermain peran.

  1. Wawancara

Peneliti melakukan wawancara secara tidak terstruktur sesuai dengan kebutuhan penelitian sebagai langkah awal guna mencari informasi untuk langkah selanjutnya.

  1. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan salah satu cara peneliti di dalam  mengumpulkan data. Dokumentasi yang dimaksudkan yakni pengambilan gambar pada saat proses bermain peran itu berlangsung guna adanya pembuktian atas aktivitas bermain peran yang dilakukan oleh objek penelitian.

4. Eksperimen

Eksperimen merupakan  kunci utama dari penelitian ini sebab penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan metode bermain peran sebagai bahan percobaan terhadap siswa.

5. Tes

Instrumen tes merupakan pengumpulann data terakhir pada penelitian ini. Tes yang dimaksud dibagi atas dua bentuk, yakni

 

–          Tes objektif

Tes objektif digunakan untuk mengukur kemampuan mengekspresikan metode bermain  peran oleh siswa. Tes ini berbentuk  multiplechoice yang terdiri dari 4 alternatif jawaban dengan skor pernomor soal adalah 5, jadi skor tertinggi adalah 100.

–  Tes praktik

pada penelitian ini siswa kelas eksperimen melakukan praktik bermain peran dengan kriteria penilaian adalah adalah , (1)_ lafal, (2) intonasi, (3) nada/tekanan,  (4) mimik/gerak-gerik, dan (5) penghayatan.

Setiap kriteria tersebut mendapat poin 20, jadi skot tertinggi yakni 100. Adapun tabel kriteria penilaian tersebut yaitu :

Tabel 1.2 kriteria penilaian

No.

Kriteria

Skor

1.

2.

3.

4.

5.

Lafal

Informasi

Nada/tekanan

Mimik/gerak-gerik

penghayatan

20

20

20

20

20

Jumlah

100

 

  1. E.     Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan teknik statistik deskriptif dan statistik diferensial parametrik jenis Indenpendent – Sample T Test yang diolah dengan program komputer sistem Statistical Product Servis Solution (SPSS) versi 11 windows. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data adalah :

  1. membuat data skor mentah ;
  2. membuat distribusi frekuensi dari skor mentah ;
  3. mencari mean rata-rata dengan menggunakan rumus :

Xi = 60% x skor maksimal

Keterangan :

Xi = mean ideal

(Nurgiyantoro, 1995 : 369)

4. Mengukur penyebaran dengan rumus

Keterangan :

Si = Simpangan baku ideal

Xi = mean ideal.

5.    untuk kepentingan  standardisasi hasil pengukuran (skor) dilakukan transformasi dari skor mentah didalam  nilai berskala 1 –10. Rumus untuk mengkonversi skor mentah  dapat dilihat dari tabel berikut.

 

 

Tabel 1.3 Konversi angka ke dalam nilai berskala 1-10

Skala Sigma Nilai Skala Angaka Ekuivalensi Nilai Mentah
+ 2,25

+ 1,75

+1,25

+ 0,75

+ 0,25

– 0,25

– 0,75

– 1,25

– 1,75

– 2,25

10

9

8

7

6

5

4

3

2

1

Mean + (2,25 x DS)

Mean + (1,75 x DS)

Mean + (1,25 x DS)

Mean + (0,75 x DS)

Mean + (0,25 x DS)

Mean – ( 0,25 x DS)

Mean – (0,75 x DS)

Mean – (1,25 x DS)

Mean – (1,75 X DS)

Mean – (2,25 x DS)

 

 

6.  Melakukan uji normalitas dengan kriteria pengujian data normal apabila X hitung lebih besar dari X tabel.

  1. melakukan uji homoginitas varians kedua kelompok. Kedua kelompok memiliki varian yang sama ketika F hitung < F tabel.
  2. Melakukan uji hipotesis dengan statistik, hipotesis ini dinyatakan  sebagai berikut :

H0 : th < tt lawan                              H1 : th > tt

Kriteria pengujian :

Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima

Jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak.

Atau

Jika Sig (2-tailed)> d, maka H0 diterima.

Jika sig (2 (tailed) < d, maka H0 ditolak

 

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Djamarah, Syaiful Bahri., & Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Djumingin, Sulastriningsih. 2004. Bahan Ajar Pengajaran Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Fujiwiatna. 2003. “Kemampuan Siswa Kelas II SMU Negeri I Baraka Kabupaten Enrekang Menggunakan Plot Naskah Drama Radio Romantika Putih Abu-abu”. Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Hamalik, Oemar. 2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Hartoko, Dick. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Hazin. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Bumi Aksara.

Juanda. 2002. Teori Sastra. Makassar: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Makassar.       

Muljana, Slamet. R.B. 1997. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta: J.B. Wolters.

Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.

Nurgiatoro, Burhan.1995. Penilaian Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta : BPEE.

Nuriah. 1999.” Keterampilan Memerankan Drama Siswa Kelas II SLTP Negeri 07 Soppeng Riaja Kabupaten Barru”. Skripsi. Makassar : FBS UNM.

Rauf, Suherman. 2001. “Analisis Naskah Drama “Mahkamah” Karya M.Hasan Pabelatabisyam dengan Pendekatan Hermeneutika”. Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Roestiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Rosdiana. 2002. “Kajian Tindak Tutur Teks Percakapan Drama Sumur Tanpa Dasar. Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Rosidi, Ajip. 1998. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Percetakan Bina Cipta.

Sabda. 2006. Mempersiapkan Drama.Internet. http:/ www. Sabda.org /pepak /pustaka  /010178/

Sabri, Ahmad. 2005. Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching.

Sudjana. 1999. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.   

Sufiani. 2004. “Problematika Pengajaran Drama di SLTP Negeri 3 Bantimurung Kabupaten Maros”. Skripsi. Makassar: FBS UNM.

Syamsuddin., & Damaianti, Vismaia S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Rosda.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PROPOSAL PENELITIAN

 

 

 

 

EFEKTIVITAS PENGAJARAN DRAMA

DENGAN MENGGUNAKAN METODE BERMAIN PERAN

PADA SISWA KELAS XI SMU NEGERI 07 MAKASSAR

TENRI DASRAWATY

035104141

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2006